Sabtu, 19 April 2008

Nasib Seni Kentrung dari Blora


KOMPAS, Jumat, 18 April 2008 | 02:18 WIB, Yanuri Sutrisno (45), generasi ketiga dalang kentrung Blora, Kamis (3/4) pagi, memejamkan mata sembari duduk bersila memegang tiga rebana. Satu rebana berdiameter sekitar 27 sentimeter tegak berdiri di pangkuannya.

Dua rebana lain berada di atas dan depan telapak kaki. Rebana yang berada di atas telapak kaki diikatkan di ibu jari kaki dengan sebuah tali bambu. Seusai hening beberapa saat, ia mulai menabuh dan mengentak ketiga rebana itu dengan rampak.

”Uluk salam miwah ya mas kalifat Allah sangate/Ya rakhiimin bemine Allah/Kawula kawulane Allah/Kawula saderma nglakoni/Kawula saderma kekandha/Nyritakake dongeng kawula,” kata Yanuri membuka pementasan kentrung.

Kata-kata pembuka itu merupakan ungkapan salam manusia sebagai khalifah atau utusan Allah kepada Sang Pencipta. Manusia sebagai kawula atau rakyat jelata di hadapan Allah harus menjalani perkataan dan kehendak-Nya.

Ketaatan kepada Allah itu diwujudkan dalam segala perilaku keseharian. Ketaatan itu juga diungkapkan manusia ketika menjalani profesi yang digeluti meskipun dia bekerja sebagai dalang pencerita.

Menurut Yanuri, setiap pekerjaan asalkan itu untuk kebaikan berharga di mata Gusti Allah. Pekerjaan itu perlu ditekuni dan digeluti sehingga berbuah baik bagi keluarga dan sesama.

”Saya tidak pernah berlatih main rebana dan membaca lakon-lakon dalam seni kentrung. Saya hanya melihat bapak saya main. Setelah bapak meninggal, anugerah itu diwariskan kepada saya,” tutur Yanuri, warga Desa Sendanggayam, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Yanuri yang kerap dipanggil Mbah Kentrung adalah putra Sutrisno, dalang kentrung generasi kedua. Sutrisno merupakan murid Mbah Sumo, dalang kentrung asal Desa Gandong, Kabupaten Grobogan.

Setelah Sutrisno meninggal pada 2003, Yanuri melanjutkan seni kentrung Blora yang dirintis ayahnya sejak 1958. Ia juga mewarisi tiga rebana yang konon sudah berusia hampir 100 tahun.

Yanuri menuturkan, beberapa hari setelah kematian Sutrisno, tangan kanannya tidak dapat digerakkan. Padahal, sebelum meninggal ayahnya berpesan agar Yanuri berlatih dan meneruskan seni kentrung.

Tak lama kemudian, sakit di tangannya itu sembuh. Berangkat dari pengalaman itulah Yanuri menyadari bahwa tangan itu sangat berharga.

”Tangan itu membawa rezeki karena dengan tangan saya dapat bermain kentrung. Rezeki itu tidak saya terima sendiri, tetapi juga dirasakan keluarga dan orang lain,” kata Yanuri yang kesehariannya bekerja sebagai buruh tani.

Dengan menjadi dalang kentrung, Yanuri dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Dahulu, ia kerap ditanggap dalam acara khitanan, kaulan, pernikahan, dan pentas seni budaya di sejumlah kota, yaitu Solo, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Sekali tampil, rata-rata penghasilannya Rp 500.000. Meski begitu, ia juga tidak minta lebih jika diberi kurang dari itu.

”Tiga tahun terakhir ini tidak banyak orang yang menanggap kentrung. Peminatnya juga sebatas kalangan tua, terutama di desa-desa,” kata Yanuri.

Tradisi lisan

Kesenian kentrung merupakan pertunjukan seni tutur atau lisan tentang cerita-cerita yang mengandung petuah-petuah hidup dan moral. Cerita-cerita itu dinyanyikan dengan bahasa khas Blora sembari diiringi rebana.

Pertunjukan itu disebut kentrung karena suara yang ditimbulkan dari instrumen berbunyi trung-trung-trung. Instrumen itu berupa rebana tanpa kecak dengan besar yang berbeda-beda. Tak jarang pula rebana itu dipadukan dengan kendang.

Berdasarkan data Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora tahun 2005, seni kentrung berkembang di Blora sejak 1915. Waktu itu tokoh-tokohnya adalah Reso Kentrung (alm) dan Nugroho (alm).

Sumber cerita kesenian itu bernapaskan keislaman atau syiar keagamaan. Hal itu tampak dari alat musik yang mencerminkan kebudayaan Arab dan isi lakon-lakon yang dibawakan.

Lakon atau cerita yang dibawakan berupa hikayat para nabi (misalnya Nabi Musa dan Ibrahim), hikayat Amir Hamzah, dan seribu satu malam. Pada dekade terakhir, para dalang mengambil lakon dari babad tanah Jawa dan cerita rakyat, seperti Menakjinggo, Jaka Tarub, Blacang Nggilo, dan Puteri Gumeng.

Dahulu, kentrung dipentaskan layaknya wayang kulit, yaitu semalam suntuk. Karena situasi dan kebutuhan zaman, pementasan itu dipadatkan menjadi sekitar 3-5 jam.

Bahasa yang digunakan cukup beragam. Bahasa yang mendominasi adalah bahasa Jawa Madya dan khas Blora. Tak jarang pula dalang kentrung menyelipkan kata-kata Sanskerta dan Arab.

Dalam kesenian itu, dalang kentrung sering mengolah kisah dengan parikan atau pantun. Pantun berfungsi menyampaikan pesan-pesan moral dengan cara guyon atau bersenda gurau. Misalnya, nyangga wedang pecah cangkire, ana sing sangga uwang sing susah pikire (memegang minuman pecah cangkirnya, ada yang bertopang dagu berarti sedang memikirkan beragam persoalan). Menurut Yanuri, pantun itu menyiratkan pesan berani menerima kesalahan dan berupaya memperbaikinya.

”Yang sudah berlalu biarkan berlalu. Tidak usah dipikirkan lagi, justru akan membuat susah hidup,” kata dia.

Kesenian kentrung juga mengandung pawejangan ilmu geru-gera gesang atau petuah-petuah menghadapi susah enaknya kehidupan. Misalnya tentang makna 20 tulisan jawa yang diadopsi untuk syiar Islam.

Hanacaraka berarti ada utusan dari Allah, yaitu Adam dan Hawa. Datasawala berarti mau menjalani hidup sebagai utusan Allah dengan mematuhi perintah-Nya.

Padajayanya mengandung pesan agar sesama utusan Allah, yaitu manusia, harus saling hidup sih-sinisihan atau menyayangi satu sama lain. Magabathanga berarti masaborongo atau menyerahkan segala sesuatu, terutama hidup dan mati, kepada Sang Pencipta.

”Menjadi Muslim jangan hanya bisa ngaji atau mengkaji agama, tetapi juga harus bisa ngajeni atau menghargai sesama dan segala isi bumi,” kata Yanuri seusai mengurai arti tulisan Jawa dalam syiar Islam.

Terkatung-katung

Sayang sekali, kesenian yang kaya dengan nilai-nilai moral kehidupan itu terkatung-katung. Ibarat mati tak segan hidup pun tak mampu. Kesenian itu terancam kehilangan generasi penerus dan peminat.

Jumlah dalang kentrung juga terus berkurang. Dari sekitar empat dalang dan kelompok kentrung, kini tinggal satu yang tersisa, yaitu Yanuri Sutrisno.

Kepala Seksi Nilai Budaya dan Kesenian Daerah Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora Suntoyo Eskar mengatakan, hidup-mati kesenian tergantung pelaku dan masyarakat. Di kalangan pelaku kesenian, regenerasi kurang diperhatikan karena masyarakat tidak lagi berminat terhadap kesenian itu.

”Mereka lebih memilih mata pencarian yang menghasilkan uang yang dapat memenuhi kehidupan sehari-hari ketimbang menekuni kesenian yang menurut mereka tidak menghasilkan apa-apa lagi,” kata dia.

Menurut Suntoyo, kondisi itu tidak terlepas oleh pengaruh budaya modern. Masyarakat lebih tertarik pada pertunjukan-pertunjukan yang lebih populer dan ringkas. Mereka enggan menikmati pertunjukan yang cenderung monoton dan makan waktu lama.

Meski begitu, lanjut Suntoyo, pemerintah tetap berupaya memperkenalkan kesenian kentrung hingga luar Blora. Paling tidak kesenian itu ditampilkan dalam pergelaran kesenian tahunan atau ketika ada tamu kehormatan yang berkunjung ke Blora.

”Yang paling menyulitkan adalah regenerasi dalang kentrung. Saat ini Yanuri sedang menyiapkan keponakannya, Susilo Hari Kusnoto (19), sebagai penggantinya nanti,” kata dia.

Secara terpisah, Ketua Yayasan Mahameru Gatot Pranoto mengatakan, Yayasan Mahameru berupaya melestarikan kesenian kentrung dengan mempromosikan kembali di seluruh Blora. Promosi itu bisa berupa pentas langsung maupun melalui radio.

Saat ini yayasan yang menggeluti kesenian dan kebudayaan itu sedang mendokumentasikan kesenian kentrung. Pendokumentasian itu berupa sejarah, lakon-lakon yang ditampilkan, dan instrumen.

”Di era sekarang dalang kentrung perlu menyampaikan pesan-pesan moral secara lebih menggelitik, misalnya mengkritisi persoalan politik. Sedangkan, masyarakat diharapkan peduli dan mempunyai hati untuk mencintai kesenian tradisional,” kata Gatot

Kamis, 17 April 2008

Test posting


kok elek emen ya? la piye leh wong agek ajaran ya ngene iki. isane mok jajal-jajal karo nyontek sana sini.